Halaman

Kamis, 21 Februari 2013

Rasulullah melarang Tafsir bir-Ra'yi ?

Ada sebuah hadits yang merupakan peringatan Rasulullah saw yang melarang mengatasnamakan sesuatu dengan Al-Qur'an hanya berdasarkan pendapat pribadi (tafsir bir-Ra'yi). Beliau bersabda :


من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
"Barangsiapa berbicara tentang Al-Qur'an berdasarkan opininya, kemudian ternyata benar, maka sesungguhnya dia telah bersalah."
(Hadits diriwayatkan at-Tirmidzi dalam at-Tafsir Bab Hadits yang membicarakan orang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan pendapatnya (No.2953); Abu Dawud dalam al-ilm Bab berbicara tentang kitab Allah tanpa disertai ilmu (no.3652).

Lalu benarkah tafsir bir-Ra'yi dilarang Rasulullah saw ?, sedangkan banyak diantara kitab-kitab tafsir yang menggunakan bentuk penafsiran bir-Ra'yi ini. Seperti tafsir Al-Bahr al-Muḥiṭ karya Abū Hayyān, tafsir jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl karya Al-Baiḍawi  dan masih banyak lagi lainnya.


Sebelum sampai pada pokok permasalahan, perlu kita telaah terlebih dahulu mengenai apa itu tafsir bir-Ra'yi. Tafsir bir-Ra'yi secara bahasa, kata ra’yu dapat diartikan sebagai al-i’tiqad (keyakinan), al-qiyas, dan al-ijtihad. Sedangkan yang dimaksud dengan ra’yu dalam pembahasan ini adalah al-ijtihad. Dan secara istilah, Dalam bukunya “at-Tafsir wal Mufassirun” adz-Dzahabi mengatakan bahwa tafsir bir-ra’yi adalah penjelasan mengenai al-Qur’an dengan jalan ijtihad, setelah mufassir terlebih dahulu memahami bahasa arab dengan gaya-gaya ungkapannya, memahami lafaz-lafaz arab dan segi-segi dilalah (pembuktian,  pendalilan) nya, dan mufassir juga menggunakan syair-syair arab jahiliyyah sebagai pendukung, disamping memperhatikan juga asbabun nuzul, nasikh mansukh dan ilmu-ilmu lainnya yang dibutuhkan mufassir.
Adapun pembagian tafsir bir-Ra'yi ini ada 2 :
1. Tafsir al-maḥmudah adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah. Hukum tafsir bir-Ra’yi al-maḥmudah menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad dengan tetap memenuhi syarat-syaratnya (menguasai ilmu-ilmu yang mendukung penafsiran al-Qur’an), serta berpegang kepadanya dalam memberikan makna-makna terhadap ayat-ayat al-Qur’an, maka penafsiran itu telah patut disebut tafsir al-maḥmud atau tafsir al-mashru’. (1)
2.Tafsir al-madhmumah adalah penafsiran al-Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat. (2)
Hukum tafsir bir-Ra’yi al-madhmumah adalah haram karena menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’yi dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang ṣaḥīḥ. Allah berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ - الإ ســــراء: ٣٦
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS. Al-Isra’: 36)
Sejalan dengan pernyataan tersebut, kembali kepada hadits Rasulullah saw :

من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
"Barangsiapa berbicara tentang Al-Qur'an berdasarkan opininya, kemudian ternyata benar, maka sesungguhnya dia telah bersalah".

para pakar hadits menjelaskan maksudnya, (karena telah menafsirkan Al-Qur'an)...dengan pendapat yang tercela." Pernyataan yang digaris bawahi ini, lebih lanjut dijelaskan oleh ibnu'Athiyah (481-542 H) mengatakan bahwa maksud perkataan itu adalah ketika seorang bertanya sesuatu tentang kitab Allah SWT kemudian langsung menanggapinya dengan pendapatnya tanpa melihat apa yang dikatakan ulama atau yang menjadi ketentuan disiplin ilmu-ilmu seperti nahwu dan ushul. Tidak termasuk dalam lingkup ancaman hadits ini, pakar bahasa yang menafsirkan makna-maknanya. Karena mereka berbicara berdasarkan ijtihad yang didasarkan rambu-rambu keilmuan dan pemikiran, karena orang yang berbicara dengan ilmu, dia bukanlah orang yang berbicara berdasarkan opini belaka. Imam Qurtubi berkata, setelah menukil di atas, "Hal itu adalah benar dan itulah yang dipilih oleh lebih dari satu orang ulama. Apabila dia berpendapat sesuai dengan dugaaannya dan yang terbetik dalam hatinya tanpa melandaskannya pada dalil ushul apapun, maka dia salah. Adapun orang yang menyimpulkan maknanya dengan berdasarkan dasar-dasar yang kuat yang disepakati maknanya, maka itulah pendapat yang terpuji."

Sehingga jika dikaji ulang, sebetulnya larangan tersebut hanya berlaku kalau di dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ra’yu itu tidak terdapat dasar sama sekali atau dilaksanakan tanpa pengetahuan kaidah bahasa Arab, pokok-pokok hukum syari’at, syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama dan sebagainya, atau penafsirannya tersebut dipakai untuk menguatkan kemauan nafsu belaka. Mengacu pada pernyataan tersebut para ulama tafsir sepakat membagi tafsir bir-Ra’yi dalam dua bagian, yaitu tafsir al-maḥmudah dan al-madhmumah.
Wallahu a'lam

(1) Muḥammad ‘Aliy al-Ṣābūniy, al-Tibyān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Jakarta: Dinamika Barokah Utama, 1985), h. 157
(2) Ṣubḥiy al-Ṣāliḥ, Mabāhith  fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Beirut: Dār al-‘Ilm, 1977), h. 294

Sumber :
- At-Tafsir wa Al-Mufassirun (Dar al-Hadits, 2005), oleh Muhammad Husain adz-Dzahabi
- Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (Perspektif, kelompok gema insani, 2010), oleh Fahmi Salim M.A.
- al-Jami'' Li Ahkam Al-Qur'an, komentar dan takhrij (Kairo: Dar al-Hadits, 2002) vol.1/43 oleh Muhammad Ibrahim al-Hafnawi dan Mahmud Hamid Utsman
- At-Tafsir wa Manahijuh (Kairo: Mathba’ah al-Amanah, 1397 H-1977 M) oleh Dr. Mahmud Basuni Faudah

Izzahdini, 21 feb 2013
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar