Halaman

Minggu, 24 Februari 2013

Dapatkah Menggunakan Metode Antropologi Dalam Menafsirkan Al-Qur'an ?


Metode Antropologi ini sering kali diasosiasikan oleh para penulis muslim sebagai metode yang komprehensif untuk menganalisis fenomena-fenomena kemanusiaan. Namun sejatinya, ideologi semacam itu tak pernah sampai kepada derajat yang meyakinkan dalam ilmu pasti. Pasalnya, ilmu atau tepatnya ideologi itu dilahirkan oleh kaum kolonial untuk mengkaji bangsa-bangsa non-Eropa. Strategi itu ditujukan untuk membuka dunia yang baru dan menjajahnya. Ideologi itu lalu ingin diuniversalkan atas nama peradaban Barat-Kristen. Gagasan dasar dari ilmu itu adalah merendahkan keyakinan dan tradisi-tradisi agama bangsa-bangsa yang terjajah. Setelah itu, masyarakat terjajah itu dipaksa untuk menjalani proses pembaratan (westernisasi) yang mencerabut akar tradisi mereka. Berangkat dari data-data tersebut, seorang pengkaji ilmu dapat menetapkan 3 karakteristik yang mengendalikan setiap analisis antropologis.

  1. Dominannya warna arbitrer dan randomisasi dalam kajian antropologi. Sebagai contoh adalah teori mimpi - menurut mereka- tak lebih dari visi yang muncul secara refleks dari orang tersebut.
  2. Pendekatan ini tak mengakui pemilahan mana riwayat yang asli dan hakiki, dan mana yang telah dipalsukan. Singkatnya, semua riwayat memiliki nilai yang sama. (1)
  3. Periwayatan ini secara teoritis akan mengosongkan manusia dari segala hal yang mengikatnya dengan unsur immateri, suatu hal yang membedakannya dari makhluk lain. Metode antropologi ingin meneguhkan kesatuan manusia dengan alam, sebagai lawan dari konsep dualitas yang menjadikan manusia 2 segi : ruh dan fisik. Antropologi memiliki asumsi bahwa manusia berasal dari jenis hewan lain dan tak bisa dipercaya untuk menerima wahyu apapun. Manusia pulalah yang menciptakan sejarah mereka. Dengan data itu, antropologi dinilai sebagai perpanjangan dari "Darwinisme". (2)
Dari uraian di ata, seorang pengkaji akan sampai kepada kesimpulan bahwa analissis fenomena yang ditawarkan antropologi adalah metode yang subjektif dan jauh dari objektivitas, sehingga sulit untuk membangun metode yang utuh. Singkatnya, antropologi tak mampu memberikan tafsir apapun. Hal itu tampak pada saat seorang pengkaji mencomot bagian tertentu dan mengabaikan alur seutuhnya dari fenomena yang dimaksud. Dengan cara semacam ini, setiap fenomena yang dikaji akan dikosongkan dari substansi dan kekhasan-kekhasannya yang unik. (3)

Peran yang dimainkan antropologi-strukturalis setelah merekayasa kemiripan antara sains dan sihir dalam pandangan modern dan primitif, ia berusaha menafsirkan fenomena agama melalui sekumpulan takwil yang serampangan.
  1. Mereduksi dunia sihir kepada ritual, dan reduksi ritual itu kepada fenomena sekunder yang mekanistik.
  2. Berusaha menggabungkan ritus itu ke dalam khurafat (superstisi) secara penuh. (4)
Dengan serangkaian kajian itu, analisis antropologi ingin merampas seluruh arti keagamaan dengan cara mengaitkannya dengan supertisi,dan menilai setiap pola pikir serba ghaib sebagai mitos. Jika kita gabungkan kesimpulan ini dengan tiga karakteristik metode tadi, maka akan semakin jelaslah betapa jauhnya antropologi untuk menjadi metode analisis yang utuh. Sebaliknya, metode ini hanyalah upaya untuk memproyeksi sejumlah imajinasi subjektif- sturuktur alam bawah sadar - kepada objek-pbjek kajiannnya.
wallahu a'lam

(1) Lihat Shalah Fadl dalam Nazhariyyat al-Bina'iyah. hlm. 242; juga Salim Yufut dalam Maafhum al-Waqi' fi at-Tafkir al-Ilmi al-Mu'ashir, hlm. 305.
(2) Lihat ulasan Raoul dan Laoura Macarious, "Nahwa Naqd Jidzri li Antropologia Levi Strauss", dalam jurnal al-Fikr al-'Arabi, edisi.37, hlm. 119.
(3) Ibid, hlm. 196 dan bisa dilihat hasil pengkajian antropologis surah al-Fathihah dalam Lectures du Qoran, hlm. 124-134.
(4) Ibid, hlm. 221.

Sumber : Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (Perspektif, kelompok gema insani, 2010), oleh Fahmi Salim M.A.

Izzahdini, 26 feb 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar