Halaman

Sabtu, 23 Februari 2013

Proyek Arkoun Dalam Kebebasan Takwil Al-Qur'an Dengan Metode Antropologinya (2)

Nah, melanjutkan pada pembahasan yang telah lalu, Di sana Arkon melakukan fungsionalisasi antropologi dalam pembacaan teks Al-qur'an. Arkoun menampilkan aspek simbolik kisah Al-Qur'an. Yang artinya menolak faktualitas sejarah dalam kisah-kisah Al-Qur'an. Kisah simbolik digagas oleh Al-Qur'an untuk menjustifikasi aturan-aturan syari'ah yang hendak dipaksakan kepada umat manusia. Dengan lihai kisah-kisah itu disampaikan dalam konteks-konteks yang bertautan dan tidak bernilai apa pun dalam hidup jika tidak dikaitkan dengan alam baka (akhirat). Dari visi Arkoun semacam inilah, maka dimensi simbolikmenjadi fondasi agam di bidang aqidah dan syari'ah, karena aroma keghaiban itulah yang nantinya dapat meneguhkan kehadiran Tuhan di dalam kehidupan manusia.

Arkoun menyatakan bahwa kisah-kisah Al-Qur'an melalui tokoh-tokoh simbolik dan peristiwa-peristiwa besar telah membentuk adu argumentasi untuk memantapkan sistem hukum yang ingin diterapkan kepada perilaku manusia. Kisah itu juga selalu mengaitkan kejadian-kejadian yang tak terarah dengan sejarah keselamatan akhirat, menyambungkan waktu dunia dengan waktu abadi di akhirat, kehidupan kedisinian dengan kehidupan akhirat, serta alam dunia dengan alam ilahi. (1)
Ada titik temu antara visi Arkoun dengan visi kaum orientalis yang memandang agama pada dasarnya tetap terkait dengan kehidupan khayalan. Akibatnya, jika ritual dan simbolnya belum menyulut respons perasaan manusia, maka agama masih tetap sebagai kerangka ajaran aqidah dan etis. Pada aras yang terbatas ini dalam batas kekuatan ghaib, dimensi ketuhanan amat dekat. Namun kondisi ini tak menghalangi penggunaan unsur alam untuk mengingatkan kebesaran Allah dan kebaikanNya. (2)

Namun, dalam visi Arkoun, hal itu tidak terbatas pada kisah Al-Qur'an saja. Lebih dari itu, aspek simbolik adalah inti dari berbagai visi keislaman terutama yang menyangkut Zat Tuhan, konsep manusia, kehidupan, dan alam semesta. Dengan visi itu Islam akan berubah seluruhnya menjadi suatu bangunan konsep-konsep imajiner semata, dan bertugas untuk merampas kesadaran manusia yang rasional, dan menggantinya dengan kesadaran mitiologis-simbolistik. 

Arkoun menulis, "Al-Qur'an telah memfungsikan potendi-potensi kejiwaan bahasa Arab secara sempurna yang tak ada bandingnya untuk menenggelamkan kesadarannya dan menampilkan bangunan simbolistik yang menginspirasi kaum beriman. Kita harus memilah bangunan ide itu ke dalam fenomena berikut ini.
  • Simbolisme perasaan bersalah (dosa)
  • Simbolisme akhirat
  • Simbolisme konsep umat
  • Simbolisme hidup dan mati
Simbol-simbol tersebut saling berkelindan dan membentuk visi yang benar tentang alam. (3)

Wacana ini ingin menggabungkan aspek perilaku ke dalam aspek visi, lalu menetapkan karakter simbolistik, dan itu berarti menggiring bahasa Al-Qur'an kepada arti majaz bukannya hakikat. Selama itulah, visi Arkoun memandang Islam sebagai kerangka berbasis dualisme mitos dan ritual. Ritual itu sendiri sebagai format praktis dari tipologi pemikiran mistis. Sesuai logika antropologia, apa yang ingin diungkapkan suatu kultur masyarakat dengan membentuk mitos, maka kultur lain mengungkapkannya dalam bentuk ritual yang senantiasa dipenuhi oleh mitologis yang terpendam. (4)
Dengan demikian, menjadi tugas analisis mitologis itu mengadakan lahirnya bacaan dan pembacaan ulang sampai muncul dengan jelas batasan-batasan ini yang mengantarkan kita kepada garis petunjuk. (5)

Nah, pendekatan yang anti kemapanan dalam menganalisis teks wahyu itu kini semakin menggoda banyak kalangan untuk diterapkan ke dalam studi Islam. Meskipun sebenarnya data-data pendekatan ini dalam sejarah modern berangkat dari kajian Levi Strauss terhadap ritus-ritus kaum paganis seperti masyarakat Indian-Amerika. (6)

Amat disayangkan, para pengikut setia Strauss di dunia Arab sangat ngotot dan intensif mempraktikkannya untuk kajian Islam dengan tujuan penghancuran sistem keyakinan dan nilai agama. Dalam konteks sejarah inilah, Arkoun dan intelek-intelek Arab pro-straussian menegaskan pentingnya memasukkan analisis antropologia ke dalam wilayah studi Islam. Levi Strauss sendiri tidak puas jika metode antropologisnya itu hanya berlaku dan diterapkan untuk mengkaji agama pagan saja.

Bersambung...

(1) Lihat Tarikhiyyat al-Fikr al-Islami, (Markaz al-Inma' al-Qawmi wa al-Markaz ats-Tsaqafi al-'Arabi: 1998) hlm. 102
(2) Hamilton Gibb, Dirasat fi Hadharat al-Islam, hlm. 239, 256.
(3) Lihat Zhahirat al-Qira'ah al-Jadidah fi Dlaw Dlawabith at-Tafsir, (Univ. Muhammad v, Fak. Adab dan Humaniora, Rabat, 1998) hlm. 239.
(4) Lihat dialog dengan Claud Levi Strauss, dalam Majalah Bayt al-Hikmah, edisi4, hlm. 16.
(5) Ibid, hlm.11.
(6) Riset itu ia lakukan pada tahun 1936-1948 M, lalu pada tahun 1955 ia menerbitkan buku yang pertama kali menyinggung kajian Islam antropologis berkat pengalaman kunjungan risetnya ke Pakistan dan gerah dengan fenomena hijab di sana.

Sumber : Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (Perspektif, kelompok gema insani, 2010), oleh Fahmi Salim M.A.

Izzahdini, 23 feb 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar