Halaman

Rabu, 14 Agustus 2013

Teruntuk Saudaraku Tercinta Di Negeri Piramid

Saat sedang membuka jejaring sosial, banyak sekali kabar yang datang dari negeri Piramid, yang secara tidak langsung membuat hati berontak atas kebiadabannya. Salah satunya seperti ini :



Hari ini Rabu, 14 Agustus Mesir kembali bergolak dan bersimbah Darah, Militer kembali membantai Demonstrasi Damai, Pro Mursi. Menurut channel TV Al-Ahrar, korban syahid berjumlah 450 syahid dan yang terluka melewati angka 10.000 lebih. Militer mengepung kota Kairo dari seluruh pintu masuk dan keluar. Bagian kecil dari biadabnya kudeta. Demonstran dibakar di Nahdhoh, Univ Cairo

Pukul 19:48 WIB, jumlah syahid mencapai angka 3000 syuhada dan 15000 luka-luka. Di antaranya 150 anak-anak. Kebanyakan ditembak peluru tajam dari serbuan aparat kepolisian-tentara-preman, juga penembak jitu dari helikopter dan gedung-gedung tinggi, ditambah gas beracun dan gas yang membakar tenda-tenda di Rab'ah juga di RS Lapangan Rab'ah.

Ya Allah hebatnya ujianMu ini, beruntungnya mereka yg telah mdpt syahid disisiMu..:')1973 merupakan tahun terakhir tentera Mesir terlibat dalam perang dengan Israel, dan tahun 2013 merupakan detik hitam bersejarah buat tamadun Mesir apabila sekali lagi tentera Mesir diturunkan dalam "perang membunuh anak bangsa seagama mereka sendiri."

" Ya Allah Engkau hancurkan kesatuan mereka yg telah mengkhianati hambaMu sndri, turunkanlah bala kepada kerajaan haram Mesir hari ini, berikanlah laknatMu kepada General Abd Fattah As-Sisi sebagaimana Engkau berikan kepada Kamal Artartuk dahulu.Ya Allah lindungilah saudara2 kami yg dizalimi, berikanlah syahidMu kepada mereka yang dibunuh. Aamiin Ya Allah :')

Copas from Dunia Islam via Facebook

izzahdini, 14 agustus 2013


Sabtu, 29 Juni 2013

Tafsir Unik Di Indonesia ???

Adalah tafsir paling beda di antara teman-temannya, bernama TAFSIR AL-IBRIZ (al-Ibriz fi Ma’rifati Tafsiril Qur’anil Aziz), Adakah yang unik dari tafsir ini, hmmm, mari kita kupas bersama, :
Ciri Khas Tafsir Ini :
  1. Terdiri dari 30 jilid, Juz 1-30, disusun kurang lebih sekitar enam tahun, yakni mulai 1954 hingga 1960
  2. Menggunakan tulisan Arab-Pegon
  3. Berbahasa jawa
Pengarang Tafsir ini :
KH. Bisyri Mushthafa dilahirkan di kampung Sawahan, Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1915 dengan nama asli Mashadi (yang kemudian diganti menjadi Bisyri Mushthafa setelah menunaikan ibadah haji). KH. Bisyri Mushthafa merupakan putra pertama dari pasangan H. Zainal Mushthofa dengan isteri keduanya bernama Hj. Chotijah. KH. Bisri Mustofa adalah seorang ulama Sunni yang gigih menperjuangkan konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Selain menjadi kiai yang alim, politikus yang handal, pengarang yang produktif. KH. Bisri Mustofa juga dikenal sebagai satrawan atau seniman. Hal ini dibuktikan dengan hasil karyannya yang berupa syair-syair atau puisi-puisi yang penuh dengan pesan-pesan moral bagi masyarakat.

Metode Penafsiran : Tafsir Tahlili (Analitis)

Bentuk Penafsiran  : Tafsir bil Ma'tsur

Corak Penafsiran : Cenderung bercorak kombinasi antara fiqhi, sosial kemasyarakatan dan sufi.

Karakteristik Penafsiran : Tafsir al-Ibriz sangat sederhana dalam menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an. Pendekatan atau corak tafsirnya tidak memiliki kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Ia merupakan kombinasi berbagai corak tafsir tergantung isi tekstualnya

Rujukan Kitab Tafsir al-Ibriz Dalam Penafsiran :
Bahan-bahannya diambil dari kitab-kitab tafsir mu’tabar karya para ulama terdahulu. seperti Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhowi, Tafsir al-Khazin, dan sebagainya

Metode Penulisan : Ayat al-Qur’an ditulis di tengah dengan diberi makna gandul atau jebres khas pesantren-pesantren di wilayah Jawa, Terjemahan tafsir Ibriz, ditulis dibagian pinggir. Keterangan-keterangan lain yang terkait dengan penafsiran ayat dimasukkan dalam sub kategori tanbih, faidah, muhimmah, dan lain-lain. 


Contoh Tafsir Surat Al-Isra’ ayat 110 :
           Terkait ayat yang berbunyi wa la tajhar bi shalatika, Kiai Bisri menulis: Tanbih; Wa la tajhar bi shalatika. Dawuh bi shalatika iki ulama-ulama suloyo. Miturut shahabat Ibn ‘Abbas, shalatika iku tafsirane moco al-Qur’an. Kolo iku Nabi Muhammad SAW ora pareng banter-banter moco al-Qur’an mundhak kerungu wong-wong kafir, banjur dadi sebabe wong-wong kafir podo misuh-misuhi al-Qur’an lan Allah Ta’ala. Rehning zaman sak iki, ambanteraken moco al-Qur’an iku ora biso dadi sebabe wong kafir podo misuhi al-Qur’an lan Allah Ta’ala. Mulo ambanteraken moco al-Qur’an iku ora dadi larang, asal ora tasywisy. Miturut Siti ‘Aisyah, shalatika iku do’a. Dadi, do’a iku banter nemen-nemen ora bagus, alon nemen-nemen sahinggo awake dewe ora kerungu iyo ora bagus. (terjemahannya : Saat itu Nabi Muhammad SAW tidak diperkenankan membaca al-Quran keras-keras, karena akan didengar orang-orang kafir yang menjadi sebab (bagi) mereka untuk mengata-ngatai (menjelek-jelekkan) al-Qur’an dan Allah Ta’ala. Adapaun saat ini, mengeraskan membaca al-Qur’an itu bukan menjadi sebab bagi orang-orang kafir untuk mengata-ngatai (menjelek-jelekkan) al-Qur’an dan Allah Ta’ala. Karenanya, mengeraskan membaca al-Qur’an tidak menjadi larangan, asalkan tidak tasywisy. Menurut Siti ‘Aisyah, shalatika itu do’a. Jadi, membaca do’a terlalu keras itu tidak baik, terlalu pelan sehingga diri kita tidak mendengarnya juga tidak bagus.) 
         
Kelebihan Tafsir ini :
  •        Ditulis dalam Bahasa Jawa, dengan tujuan supaya orang-orang lokal, Jawa, mampu memahami kandungan al-Qur’an dengan seksama. Dan ditampilkan dengan ungkapan yang ringan dan gampang dicerna, hingga oleh orang awam sekalipun
  •             Ada semacam hirarki berbahasa yang tingkat kehalusan dan kekasaran diksinya sangat tergantung pihak-pihak yang berdialog. Ini kekhasan tersendiri dari bahasa Jawa yang tidak dimiliki karya-karya tafsir lainnya. bahasa Jawa yang digunakan berkisar pada dua hirarki: bahasa ngoko (kasar) dan bahasa kromo (halus). 
  •             Sebelum disebarluaskan kepada khalayak ramai, karya tafsir ini terlebih dahulu di-taftisy oleh beberapa ulama terkenal, seperti al-‘Allamah al-Hafidz KH Arwani Amin, al-Mukarram KH Abu ‘Umar, al-Mukarram al-Hafidz KH Hisyam, dan al-Adib al-Hafidz KH Sya’roni Ahmadi. Semuanya ulama kenamaan asal Kudus Jawa Tengah. 
 Kekurangan Tafsir ini :
  • Tidak menyebutkan  sumber-sumber asal penafsirannya dari kitab-kitab tafsir  sebelumnya
  • Menampilkan Hadis Nabi apa adanya, tanpa menyebutkan rangkaian sanadnya. Statusnya, shahih, hasan, atau dhaif.  
  •  Menampilkan pendapat para shahabat. Misalnya, Dalam menafsiri Qs. al-Baqarah ayat 1, alim-laam-miim, Kiai Bisri sebenarnya juga menggunakan interpretasi ala Ibn ‘Abbas. Hanya saja, Kiai Bisri tidak menyebut secara langsung, penafsiran siapa yang dinukilnya.     
Wallahu A'lam


Izzahdini, 30 juni 2013
 

Kamis, 02 Mei 2013

MANAJEMEN PESANTREN


Oleh :
(Fitria Izzah Dinnillah / Q120032)

Tidak dapat dipungkiri, bahwa manajemen merupakan suatu hal penting yang mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Manajemen menunjukkan cara-cara yang lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaan suatu pekerjaan. Merupakan rentetan langkah terpadu untuk mengembangkan suatu organisasi. Melibatkan sumber daya organisasi untuk mecapai tujuan organisasi. Organisasi apapun selalu membutuhkan manajemen yang baik. Kelembagaan akan berjalan baik jika dikelola dengan baik. Dan dengan manajemen yang rapi pula, akan membentuk kinerja organisasi yang baik dan berhasil. Dalam hal ini, akan dijelaskan manajemen yang lebih menitikberatkan pada manajemen pesantren.
Katakanlah, ketika kita ingin mendirikan sebuah pesantren, maka yang pertama kali kita lakukan adalah membuat visi, misi dan tujuan yang jelas, disertai dengan pemahaman yang mendalam terkait hal tersebut. Karena poin ini merupakan bagian yang sangat penting dalam memberikan arahan yang jelas, tentang tujuan pendirian pesantren. Sehingga nantinya dapat memudahkan kita dalam pengambilan kebijakan-kebijakan selanjutnya. Setelah itu melakukan pembentukan karakter  pesantren, disertai dengan komitmen yang kuat dari subyek pelaku dalam keorganisasian pesantren tersebut. Pembangunan karakter bagi sebuah pesantren sangat diutamakan. Mengingat sejarah permulaan Islam, bahwa kesuksesan mereka adalah karena setiap individu memiliki kesadaran, dan bahwa setiap kita memiliki pertanggung jawaban kepada Allah atas setiap kepemimpinan dan tindakan kita. Serta berkomitmen untuk mengimplementasikan arahan dan kebijakan ke dalam tindakan yang istiqomah dan ikhlas. Untuk penempatan subyek-subyek pelaku dalam keorganisasian pesantren tersebut, maka perlu diletakkan “orang yang tepat, di posisi/tempat yang tepat pula”. Jika seseorang mengerjakan sesuatu pada bidangnya, maka ia akan melihat pekerjaan itu bukan semata-mata sebagai kewajiban, tetapi sebagai sebuah kenikmatan dan akan menghasilkan sebuah kinerja yang luar biasa.  Selain itu, perlunya membangun hubungan atau ukhuwah yang baik antara atasan dengan bawahan. 

Dalam poin ini, diperlukan “kedermawanan” sang manajer atau pemimpin. Yaitu dengan memberikan reward atau penghargaan kepada bawahan yang telah melaksanakan tugas dengan baik. Reward tidak harus berupa materi, tetapi bisa dalam bentuk pujian dan motivasi untuk memberikan semangat kepada bawahan. Ada baiknya pula, ketika sang manajer dapat memberikan kepuasan individual kepada subyek-subyek pelaku organisasi. Dengan menyejahterakan kepentingan mereka. Sehingga dalam poin ini, hal terpenting yang dapat menunjang keberhasilan organisasi adalah “menggabungkan antara kepentingan organisasi dengan kepentingan individu”. Karena merupakan suatu kebutuhan alami manusia, tidak hanya terpuaskan oleh kebutuhan spiritual saja, namun juga kebutuhan material.
Selanjutnya yaitu perlu adanya “muhasabah” bagi tiap-tiap pelaku organisasi. Lalu bagaimana perwujudan hal tersebut ?. Yaitu dengan seringnya bermusyawarah, karena esensi dari musyawarah sendiri adalah bertukar pendapat. Dengan bertukar pendapat, akan memudahkan dalam menemukan solusi, membuka pikiran yang lebih segar. Saling memberikan motivasi dan semangat yang baru, sehingga akan terjalin komunikasi yang baik dalam organisasi tersebut. Selain itu, untuk mempererat jalinan ukhuwah, ada baiknya, dalam organisasi tersebut diagendakan pertemuan keluarga pesantren. Jadi tekhnisnya, diberikan giliran kepada subyek pelaku organisasi tersebut untuk bersedia dijadwalkan pertemuan di rumahnya. Acara tersebut selain untuk silaturrahmi, juga diharapkan dapat menguatkan ukhuwah antar subyek pelaku organisasi. Sehingga rasa kekeluargaan itu akan muncul. Kemudian untuk pembinaan personal, perlu ditumbuhkan juga sikap tawadhu’ dan ikrom. Sehingga ketika kita melihat potensi orang lain yang lebih dari kita, menjadi cambukan bagi kita untuk terus maju dan meningkatkan kinerja diri, serta memberikan apresiasi yang baik kepada orang tersebut. Dan sebaliknya, ketika kita memiliki potensi yang lebih tinggi dari orang lain, maka kita harus bersikap rendah hati atau tawadhu’.
Pada akhirnya, inti dari sebuah manajemen adalah perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, penggunaan sumber daya dan kepemimpinan. Dan tiap-tiap tingkatan tersebut memiliki porsi yang berbeda dalam menjalankan fungsi organisasinya. Sehingga diperlukan pengaturan terhadap pemberian porsi yang tepat di tiap-tiap tingkatan tersebut, guna mewujudkan tujuan organisasi.
Wallahu 'alam


Izzahdini, 02 mei 2013

Senin, 08 April 2013

Menelusuri Cerita Tafsir di Masa Sahabat

Ada sebuah ungkapan mengatakan, "Menghidupkan ilmu itu adalah dengan cara mengulang-ulangnya." Karena sifat manusia yang mudah "lupa", sehingga perlu dialokasikan kesempatan untuk muroja'ah atau mengulang kembali ilmu yang telah didapat. Ibaratnya, ketika kita makan chocholate, semakin sering kita memakannya, semakin  hafal, apa warna bungkusnya, ada tulisan /gambar apa aja di sana, dan lain sebagainya. Beberapa hari yang lalu, ketika mendapat mata kuliah "sejarah tafsir" yang diampu oleh Ustad Hasan El Qudsi, saya tertarik dengan tema yang disampaikan oleh beliau, yaitu terkait "Sejarah Tafsir di Masa Sahabat". Berikut catatan yang berhasil didokumentasikan, hingga memutuskan untuk mengangkatnya ke derajat postingan... hehehe. Semoga ini bermanfaat untuk diri saya pribadi, dan teman-teman semua. Ayuuuk muraja'ah via blog, berselancar di dunia maya menembus lorong waktu di masa kenabian dulu...Eeeeitsciee hehehe ^_^


Ikhwah fillah, tentu kita sudah tidak asing lagi, mendengar nama-nama seperti, Abu Bakar as-Siddiq, Ali bin Abi Tholib, Umar bin Khottob, dan lain sebagainya. Ya, mereka adalah sahabat Rasulullah Saw. Lalu sebenarnya siapa sih yang disebut "sahabat" itu ? Ok, sahabat adalah Orang-orang yang  bertemu langsung dengan Rasullah Saw dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan beriman pula.
Dan tahukah anda, ternyata tafsir perdana ini dilaunchingkan ketika masa sahabat dahulu. Tapi ketika itu, tafsir masih sangat sederhana sekali, mengapa begitu ? Ada beberapa poin di sini.
  1. Ketika itu problematika umat masih sederhana sekali (ga' kompleks kayak sekarang ini yaah)
  2. Penafsir ketika itu hanya Rasulullah Saw (bayangkan, nah lho)
  3. Dan saat itu pula para sahabat adalah ahli bahasa (Subhanallah, takbiiiir)
Dan ketika itu Rasulullah Saw hanya menafsirkan ayat Al-Qur'an sebagian saja, karena para sahabat merupakan ahli bahasa.  Serta Rasulullah Saw yang hanya membatasi penafsiran pada ayat-ayat yang bersifat kauniyah saja.
Mungkin akan muncul pertanyaan dalam benak kita (iyya khaan...^^), apakah dulu para sahabat ketika menafsirkan Al-Qur'an memiliki pemahaman yang berbeda-beda dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an ? Jawabannya, tentu saja iya. Karena sebab-sebab sebagai berikut :
  1. Kecerdasan para sahabat berbeda-beda
  2. Kedekatan dan mulazamah para sahabat kepada Rasulullah Saw (karena saat itu kuantitas abu bakar bertemu Rasulullah "kecil", dikarenakan sibuknya beliau melayani umat)
  3. Panjang Umurnya (Sehingga berkesempatan untuk bertanya pada yang lain)
  4. Pengetahuan para sahabat tentang bahasa arab  
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an ini ada 4 ketentuan dari perkataan sahabat yang dapat digunakan (ada rambu-rambunya dong, pastinya..), yaitu : 
  1. Sesuatu yang didalamnya tidak dimungkinkan tempat bercampurnya / berperannya akal / ijtihad.
  2. Tidak ada perkataan sahabat yang menyelisihinya
  3. Jika ada segolongan sahabat yang berbeda pendapat, maka diambil yang rajih
  4. Bersumber dari ahli kitab (isro'illiyat), terutama hal-hal yang berkenaan dengan kisah-kisah Nabi, umat terdahulu, dan ahli kitab terdahulu.
Tafsir di masa sahabat ini memiliki 7 nilai plus atau bisa dikatakan kelebihannya, yaitu :
  1. Tidak semua sahabat menafsirkan Al-Qur'an, tetapi ditafsirkannya sebagian saja, yaitu hal-hal yang masih belum jelas
  2. Sedikitnya perbedaan sahabat dalam memahami Al-Qur'an
  3. Mayoritas mereka menyuguhkan terhadap pemaknaan Al-Qur'an secara global
  4. Penjelasan terhadap makna ayat dengan menggunakan kata-kata yang ringkas
  5. Sedikitnya istinbath terhadap hukum-hukum fiqih dengan tujuan membela terhadap suatu madzhab. Hal ini dikarenakan  kesamaan aqidah mereka, dan perbedaan madzhab itu baru muncul setelah masa sahabat
  6. Karya tafsir di masa sahabat ini tidak dikodifikasikan (kodifikasi baru terjadi setelah abad ke-2)
  7. Tafsir pada masa ini masih berbentuk dalam hadits, bahkan salah satu bagian daripada hadits)
Rumuz 7 nilai plus di atas, bisa kita tuliskan (biar mudah menghafalnya) : Tafsir sebagian, bentuknya hadits, tidak dibukukan, paham beda dikit, makna global, makna berkata ringkas, istinbath hukum fiqih dikit.

Mengapa banyak yang menjadikan sahabat sebagai tempat rujukan ?, karena mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah Saw yang mengetahui tempat dimana diturunkannya Al-Qur'an dan mereka pun ahli bahasa. Oh ya, dari tadi kita kok belum kenalan yach ? ada pepatah bilang, tak kenal maka ta'aruf. Eeem, jadi para mufassir di masa sahabat itu, diantaranya adalah khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Utsman, Umar, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas'ud, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, dan Aisyah. Tapi yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas'ud, dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan doa dari Rasulullah Saw.
Wallahu a'lam


Izzahdini, 08 Apr 2013 

Minggu, 24 Februari 2013

Dapatkah Menggunakan Metode Antropologi Dalam Menafsirkan Al-Qur'an ?


Metode Antropologi ini sering kali diasosiasikan oleh para penulis muslim sebagai metode yang komprehensif untuk menganalisis fenomena-fenomena kemanusiaan. Namun sejatinya, ideologi semacam itu tak pernah sampai kepada derajat yang meyakinkan dalam ilmu pasti. Pasalnya, ilmu atau tepatnya ideologi itu dilahirkan oleh kaum kolonial untuk mengkaji bangsa-bangsa non-Eropa. Strategi itu ditujukan untuk membuka dunia yang baru dan menjajahnya. Ideologi itu lalu ingin diuniversalkan atas nama peradaban Barat-Kristen. Gagasan dasar dari ilmu itu adalah merendahkan keyakinan dan tradisi-tradisi agama bangsa-bangsa yang terjajah. Setelah itu, masyarakat terjajah itu dipaksa untuk menjalani proses pembaratan (westernisasi) yang mencerabut akar tradisi mereka. Berangkat dari data-data tersebut, seorang pengkaji ilmu dapat menetapkan 3 karakteristik yang mengendalikan setiap analisis antropologis.

  1. Dominannya warna arbitrer dan randomisasi dalam kajian antropologi. Sebagai contoh adalah teori mimpi - menurut mereka- tak lebih dari visi yang muncul secara refleks dari orang tersebut.
  2. Pendekatan ini tak mengakui pemilahan mana riwayat yang asli dan hakiki, dan mana yang telah dipalsukan. Singkatnya, semua riwayat memiliki nilai yang sama. (1)
  3. Periwayatan ini secara teoritis akan mengosongkan manusia dari segala hal yang mengikatnya dengan unsur immateri, suatu hal yang membedakannya dari makhluk lain. Metode antropologi ingin meneguhkan kesatuan manusia dengan alam, sebagai lawan dari konsep dualitas yang menjadikan manusia 2 segi : ruh dan fisik. Antropologi memiliki asumsi bahwa manusia berasal dari jenis hewan lain dan tak bisa dipercaya untuk menerima wahyu apapun. Manusia pulalah yang menciptakan sejarah mereka. Dengan data itu, antropologi dinilai sebagai perpanjangan dari "Darwinisme". (2)
Dari uraian di ata, seorang pengkaji akan sampai kepada kesimpulan bahwa analissis fenomena yang ditawarkan antropologi adalah metode yang subjektif dan jauh dari objektivitas, sehingga sulit untuk membangun metode yang utuh. Singkatnya, antropologi tak mampu memberikan tafsir apapun. Hal itu tampak pada saat seorang pengkaji mencomot bagian tertentu dan mengabaikan alur seutuhnya dari fenomena yang dimaksud. Dengan cara semacam ini, setiap fenomena yang dikaji akan dikosongkan dari substansi dan kekhasan-kekhasannya yang unik. (3)

Peran yang dimainkan antropologi-strukturalis setelah merekayasa kemiripan antara sains dan sihir dalam pandangan modern dan primitif, ia berusaha menafsirkan fenomena agama melalui sekumpulan takwil yang serampangan.
  1. Mereduksi dunia sihir kepada ritual, dan reduksi ritual itu kepada fenomena sekunder yang mekanistik.
  2. Berusaha menggabungkan ritus itu ke dalam khurafat (superstisi) secara penuh. (4)
Dengan serangkaian kajian itu, analisis antropologi ingin merampas seluruh arti keagamaan dengan cara mengaitkannya dengan supertisi,dan menilai setiap pola pikir serba ghaib sebagai mitos. Jika kita gabungkan kesimpulan ini dengan tiga karakteristik metode tadi, maka akan semakin jelaslah betapa jauhnya antropologi untuk menjadi metode analisis yang utuh. Sebaliknya, metode ini hanyalah upaya untuk memproyeksi sejumlah imajinasi subjektif- sturuktur alam bawah sadar - kepada objek-pbjek kajiannnya.
wallahu a'lam

(1) Lihat Shalah Fadl dalam Nazhariyyat al-Bina'iyah. hlm. 242; juga Salim Yufut dalam Maafhum al-Waqi' fi at-Tafkir al-Ilmi al-Mu'ashir, hlm. 305.
(2) Lihat ulasan Raoul dan Laoura Macarious, "Nahwa Naqd Jidzri li Antropologia Levi Strauss", dalam jurnal al-Fikr al-'Arabi, edisi.37, hlm. 119.
(3) Ibid, hlm. 196 dan bisa dilihat hasil pengkajian antropologis surah al-Fathihah dalam Lectures du Qoran, hlm. 124-134.
(4) Ibid, hlm. 221.

Sumber : Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (Perspektif, kelompok gema insani, 2010), oleh Fahmi Salim M.A.

Izzahdini, 26 feb 2013