Halaman

Sabtu, 29 Juni 2013

Tafsir Unik Di Indonesia ???

Adalah tafsir paling beda di antara teman-temannya, bernama TAFSIR AL-IBRIZ (al-Ibriz fi Ma’rifati Tafsiril Qur’anil Aziz), Adakah yang unik dari tafsir ini, hmmm, mari kita kupas bersama, :
Ciri Khas Tafsir Ini :
  1. Terdiri dari 30 jilid, Juz 1-30, disusun kurang lebih sekitar enam tahun, yakni mulai 1954 hingga 1960
  2. Menggunakan tulisan Arab-Pegon
  3. Berbahasa jawa
Pengarang Tafsir ini :
KH. Bisyri Mushthafa dilahirkan di kampung Sawahan, Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1915 dengan nama asli Mashadi (yang kemudian diganti menjadi Bisyri Mushthafa setelah menunaikan ibadah haji). KH. Bisyri Mushthafa merupakan putra pertama dari pasangan H. Zainal Mushthofa dengan isteri keduanya bernama Hj. Chotijah. KH. Bisri Mustofa adalah seorang ulama Sunni yang gigih menperjuangkan konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Selain menjadi kiai yang alim, politikus yang handal, pengarang yang produktif. KH. Bisri Mustofa juga dikenal sebagai satrawan atau seniman. Hal ini dibuktikan dengan hasil karyannya yang berupa syair-syair atau puisi-puisi yang penuh dengan pesan-pesan moral bagi masyarakat.

Metode Penafsiran : Tafsir Tahlili (Analitis)

Bentuk Penafsiran  : Tafsir bil Ma'tsur

Corak Penafsiran : Cenderung bercorak kombinasi antara fiqhi, sosial kemasyarakatan dan sufi.

Karakteristik Penafsiran : Tafsir al-Ibriz sangat sederhana dalam menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an. Pendekatan atau corak tafsirnya tidak memiliki kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Ia merupakan kombinasi berbagai corak tafsir tergantung isi tekstualnya

Rujukan Kitab Tafsir al-Ibriz Dalam Penafsiran :
Bahan-bahannya diambil dari kitab-kitab tafsir mu’tabar karya para ulama terdahulu. seperti Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhowi, Tafsir al-Khazin, dan sebagainya

Metode Penulisan : Ayat al-Qur’an ditulis di tengah dengan diberi makna gandul atau jebres khas pesantren-pesantren di wilayah Jawa, Terjemahan tafsir Ibriz, ditulis dibagian pinggir. Keterangan-keterangan lain yang terkait dengan penafsiran ayat dimasukkan dalam sub kategori tanbih, faidah, muhimmah, dan lain-lain. 


Contoh Tafsir Surat Al-Isra’ ayat 110 :
           Terkait ayat yang berbunyi wa la tajhar bi shalatika, Kiai Bisri menulis: Tanbih; Wa la tajhar bi shalatika. Dawuh bi shalatika iki ulama-ulama suloyo. Miturut shahabat Ibn ‘Abbas, shalatika iku tafsirane moco al-Qur’an. Kolo iku Nabi Muhammad SAW ora pareng banter-banter moco al-Qur’an mundhak kerungu wong-wong kafir, banjur dadi sebabe wong-wong kafir podo misuh-misuhi al-Qur’an lan Allah Ta’ala. Rehning zaman sak iki, ambanteraken moco al-Qur’an iku ora biso dadi sebabe wong kafir podo misuhi al-Qur’an lan Allah Ta’ala. Mulo ambanteraken moco al-Qur’an iku ora dadi larang, asal ora tasywisy. Miturut Siti ‘Aisyah, shalatika iku do’a. Dadi, do’a iku banter nemen-nemen ora bagus, alon nemen-nemen sahinggo awake dewe ora kerungu iyo ora bagus. (terjemahannya : Saat itu Nabi Muhammad SAW tidak diperkenankan membaca al-Quran keras-keras, karena akan didengar orang-orang kafir yang menjadi sebab (bagi) mereka untuk mengata-ngatai (menjelek-jelekkan) al-Qur’an dan Allah Ta’ala. Adapaun saat ini, mengeraskan membaca al-Qur’an itu bukan menjadi sebab bagi orang-orang kafir untuk mengata-ngatai (menjelek-jelekkan) al-Qur’an dan Allah Ta’ala. Karenanya, mengeraskan membaca al-Qur’an tidak menjadi larangan, asalkan tidak tasywisy. Menurut Siti ‘Aisyah, shalatika itu do’a. Jadi, membaca do’a terlalu keras itu tidak baik, terlalu pelan sehingga diri kita tidak mendengarnya juga tidak bagus.) 
         
Kelebihan Tafsir ini :
  •        Ditulis dalam Bahasa Jawa, dengan tujuan supaya orang-orang lokal, Jawa, mampu memahami kandungan al-Qur’an dengan seksama. Dan ditampilkan dengan ungkapan yang ringan dan gampang dicerna, hingga oleh orang awam sekalipun
  •             Ada semacam hirarki berbahasa yang tingkat kehalusan dan kekasaran diksinya sangat tergantung pihak-pihak yang berdialog. Ini kekhasan tersendiri dari bahasa Jawa yang tidak dimiliki karya-karya tafsir lainnya. bahasa Jawa yang digunakan berkisar pada dua hirarki: bahasa ngoko (kasar) dan bahasa kromo (halus). 
  •             Sebelum disebarluaskan kepada khalayak ramai, karya tafsir ini terlebih dahulu di-taftisy oleh beberapa ulama terkenal, seperti al-‘Allamah al-Hafidz KH Arwani Amin, al-Mukarram KH Abu ‘Umar, al-Mukarram al-Hafidz KH Hisyam, dan al-Adib al-Hafidz KH Sya’roni Ahmadi. Semuanya ulama kenamaan asal Kudus Jawa Tengah. 
 Kekurangan Tafsir ini :
  • Tidak menyebutkan  sumber-sumber asal penafsirannya dari kitab-kitab tafsir  sebelumnya
  • Menampilkan Hadis Nabi apa adanya, tanpa menyebutkan rangkaian sanadnya. Statusnya, shahih, hasan, atau dhaif.  
  •  Menampilkan pendapat para shahabat. Misalnya, Dalam menafsiri Qs. al-Baqarah ayat 1, alim-laam-miim, Kiai Bisri sebenarnya juga menggunakan interpretasi ala Ibn ‘Abbas. Hanya saja, Kiai Bisri tidak menyebut secara langsung, penafsiran siapa yang dinukilnya.     
Wallahu A'lam


Izzahdini, 30 juni 2013