Halaman

Minggu, 24 Februari 2013

Dapatkah Menggunakan Metode Antropologi Dalam Menafsirkan Al-Qur'an ?


Metode Antropologi ini sering kali diasosiasikan oleh para penulis muslim sebagai metode yang komprehensif untuk menganalisis fenomena-fenomena kemanusiaan. Namun sejatinya, ideologi semacam itu tak pernah sampai kepada derajat yang meyakinkan dalam ilmu pasti. Pasalnya, ilmu atau tepatnya ideologi itu dilahirkan oleh kaum kolonial untuk mengkaji bangsa-bangsa non-Eropa. Strategi itu ditujukan untuk membuka dunia yang baru dan menjajahnya. Ideologi itu lalu ingin diuniversalkan atas nama peradaban Barat-Kristen. Gagasan dasar dari ilmu itu adalah merendahkan keyakinan dan tradisi-tradisi agama bangsa-bangsa yang terjajah. Setelah itu, masyarakat terjajah itu dipaksa untuk menjalani proses pembaratan (westernisasi) yang mencerabut akar tradisi mereka. Berangkat dari data-data tersebut, seorang pengkaji ilmu dapat menetapkan 3 karakteristik yang mengendalikan setiap analisis antropologis.

  1. Dominannya warna arbitrer dan randomisasi dalam kajian antropologi. Sebagai contoh adalah teori mimpi - menurut mereka- tak lebih dari visi yang muncul secara refleks dari orang tersebut.
  2. Pendekatan ini tak mengakui pemilahan mana riwayat yang asli dan hakiki, dan mana yang telah dipalsukan. Singkatnya, semua riwayat memiliki nilai yang sama. (1)
  3. Periwayatan ini secara teoritis akan mengosongkan manusia dari segala hal yang mengikatnya dengan unsur immateri, suatu hal yang membedakannya dari makhluk lain. Metode antropologi ingin meneguhkan kesatuan manusia dengan alam, sebagai lawan dari konsep dualitas yang menjadikan manusia 2 segi : ruh dan fisik. Antropologi memiliki asumsi bahwa manusia berasal dari jenis hewan lain dan tak bisa dipercaya untuk menerima wahyu apapun. Manusia pulalah yang menciptakan sejarah mereka. Dengan data itu, antropologi dinilai sebagai perpanjangan dari "Darwinisme". (2)
Dari uraian di ata, seorang pengkaji akan sampai kepada kesimpulan bahwa analissis fenomena yang ditawarkan antropologi adalah metode yang subjektif dan jauh dari objektivitas, sehingga sulit untuk membangun metode yang utuh. Singkatnya, antropologi tak mampu memberikan tafsir apapun. Hal itu tampak pada saat seorang pengkaji mencomot bagian tertentu dan mengabaikan alur seutuhnya dari fenomena yang dimaksud. Dengan cara semacam ini, setiap fenomena yang dikaji akan dikosongkan dari substansi dan kekhasan-kekhasannya yang unik. (3)

Peran yang dimainkan antropologi-strukturalis setelah merekayasa kemiripan antara sains dan sihir dalam pandangan modern dan primitif, ia berusaha menafsirkan fenomena agama melalui sekumpulan takwil yang serampangan.
  1. Mereduksi dunia sihir kepada ritual, dan reduksi ritual itu kepada fenomena sekunder yang mekanistik.
  2. Berusaha menggabungkan ritus itu ke dalam khurafat (superstisi) secara penuh. (4)
Dengan serangkaian kajian itu, analisis antropologi ingin merampas seluruh arti keagamaan dengan cara mengaitkannya dengan supertisi,dan menilai setiap pola pikir serba ghaib sebagai mitos. Jika kita gabungkan kesimpulan ini dengan tiga karakteristik metode tadi, maka akan semakin jelaslah betapa jauhnya antropologi untuk menjadi metode analisis yang utuh. Sebaliknya, metode ini hanyalah upaya untuk memproyeksi sejumlah imajinasi subjektif- sturuktur alam bawah sadar - kepada objek-pbjek kajiannnya.
wallahu a'lam

(1) Lihat Shalah Fadl dalam Nazhariyyat al-Bina'iyah. hlm. 242; juga Salim Yufut dalam Maafhum al-Waqi' fi at-Tafkir al-Ilmi al-Mu'ashir, hlm. 305.
(2) Lihat ulasan Raoul dan Laoura Macarious, "Nahwa Naqd Jidzri li Antropologia Levi Strauss", dalam jurnal al-Fikr al-'Arabi, edisi.37, hlm. 119.
(3) Ibid, hlm. 196 dan bisa dilihat hasil pengkajian antropologis surah al-Fathihah dalam Lectures du Qoran, hlm. 124-134.
(4) Ibid, hlm. 221.

Sumber : Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (Perspektif, kelompok gema insani, 2010), oleh Fahmi Salim M.A.

Izzahdini, 26 feb 2013


Proyek Arkoun Dalam Kebebasan Takwil Dengan Metode Antropologinya (4)

Melanjutkan pada pembahasan ketiga, Bagi Arkoun, kisah Al-Qur’an yang dipaparkan untuk memantapkan hakikat-hakikat sistem aqidah dan syari’ah adalah hasil rajutan imajinasi kelompok sosial yang tidak bisa mengajukan fakta yang meyakinkan. Memang benar bahwa inti kisah itu terbentuk dari tunas hakiki yang factual, namun imajinasi umat telah merajut sejumlah mitos untuk tujuan sakralisasi. Pada titik inilah, menyatu wacana kisah Al-Qur’an dengan cerita-cerita versi taurat. 
Arkoun menulis, “Sebenarnya kisah Al-Qur’an, hadits Nabi, dan sirah selalu diketengahkan sebagai bentuk argumentasi rasional, padahal semua cerita itu sangat berutang kepada imajinasi sosial yang mengkristalkan mitologi yang khas dalam setiap kelompok, dan berperan dalam penguatan imajinasi itu.” (1) 

Sehingga jadilah Al-Qur’an sebagai referensi utama yang menikmati efek yang canggih dalam tingkat imajinasi sosial, namun tak bernilai apapun dalam level pengetauan sejarah. (2)
Melihat kondisi seperti ini, analisis antropologis menjadi begitu penting –terlebih dalam situasi yang bercampur aduk antara aspek realism dan aspek sakralitas. Mitos – dalam konteks ini sebagaimana pendapat Arkoun – berarti memaparkan visi tentang peristiwa atau tokoh yang pernah ada dalam sejarah dan imajinasi rakyatlah yang kemudian bekerja untuk memperbesarnya. (3)
 
Kondisi yang terjadi pada Al-Qur’an itulah yang yang juga terjadi dengan Taurat, sebagaimana kata Arkoun, “Cerita-cerita Taurat dan wacana Al-Qur’an adalah dua contoh ideal dari ungkapan-ungkapan mistis.” (4) Oleh sebab itu, kisah Al-Qur’an yang  faktual pun hanya berupa representasi dan deskripsi mitos yang dibangun oleh imajinasi. (5)
Persepsi-persepsi Arkoun semacam inilah yang menikam langsung dan mencederai sumber Al-Qur’an yang  berasal dari Allah SWT.
Wallahu a'lam

Selesai-red

(1) Lihat Tarikhiyyat al-Fikr al-‘Arabi, hlm. 14.
(2) Lihat al-Balagh al-‘Arabi, edisi.120, hlm. 12.
(3) Lihat Tarikhiyyat al-Fikr, hlm. 159.
(4) Ibid, hlm. 201.
(5) Lihat Lectures du Qoran, hlm. 13; juga Zhahirat al-Qira’ah al-Jadidah, hlm. 83.


Sumber : Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (Perspektif, kelompok gema insani, 2010), oleh Fahmi Salim M.A.


Izzahdini, 24 Feb 2013

Sabtu, 23 Februari 2013

Proyek Arkoun Dalam Kebebasan Takwil Al-Qur'an Dengan Metode Antropologinya (2)

Nah, melanjutkan pada pembahasan yang telah lalu, Di sana Arkon melakukan fungsionalisasi antropologi dalam pembacaan teks Al-qur'an. Arkoun menampilkan aspek simbolik kisah Al-Qur'an. Yang artinya menolak faktualitas sejarah dalam kisah-kisah Al-Qur'an. Kisah simbolik digagas oleh Al-Qur'an untuk menjustifikasi aturan-aturan syari'ah yang hendak dipaksakan kepada umat manusia. Dengan lihai kisah-kisah itu disampaikan dalam konteks-konteks yang bertautan dan tidak bernilai apa pun dalam hidup jika tidak dikaitkan dengan alam baka (akhirat). Dari visi Arkoun semacam inilah, maka dimensi simbolikmenjadi fondasi agam di bidang aqidah dan syari'ah, karena aroma keghaiban itulah yang nantinya dapat meneguhkan kehadiran Tuhan di dalam kehidupan manusia.

Arkoun menyatakan bahwa kisah-kisah Al-Qur'an melalui tokoh-tokoh simbolik dan peristiwa-peristiwa besar telah membentuk adu argumentasi untuk memantapkan sistem hukum yang ingin diterapkan kepada perilaku manusia. Kisah itu juga selalu mengaitkan kejadian-kejadian yang tak terarah dengan sejarah keselamatan akhirat, menyambungkan waktu dunia dengan waktu abadi di akhirat, kehidupan kedisinian dengan kehidupan akhirat, serta alam dunia dengan alam ilahi. (1)
Ada titik temu antara visi Arkoun dengan visi kaum orientalis yang memandang agama pada dasarnya tetap terkait dengan kehidupan khayalan. Akibatnya, jika ritual dan simbolnya belum menyulut respons perasaan manusia, maka agama masih tetap sebagai kerangka ajaran aqidah dan etis. Pada aras yang terbatas ini dalam batas kekuatan ghaib, dimensi ketuhanan amat dekat. Namun kondisi ini tak menghalangi penggunaan unsur alam untuk mengingatkan kebesaran Allah dan kebaikanNya. (2)

Namun, dalam visi Arkoun, hal itu tidak terbatas pada kisah Al-Qur'an saja. Lebih dari itu, aspek simbolik adalah inti dari berbagai visi keislaman terutama yang menyangkut Zat Tuhan, konsep manusia, kehidupan, dan alam semesta. Dengan visi itu Islam akan berubah seluruhnya menjadi suatu bangunan konsep-konsep imajiner semata, dan bertugas untuk merampas kesadaran manusia yang rasional, dan menggantinya dengan kesadaran mitiologis-simbolistik. 

Arkoun menulis, "Al-Qur'an telah memfungsikan potendi-potensi kejiwaan bahasa Arab secara sempurna yang tak ada bandingnya untuk menenggelamkan kesadarannya dan menampilkan bangunan simbolistik yang menginspirasi kaum beriman. Kita harus memilah bangunan ide itu ke dalam fenomena berikut ini.
  • Simbolisme perasaan bersalah (dosa)
  • Simbolisme akhirat
  • Simbolisme konsep umat
  • Simbolisme hidup dan mati
Simbol-simbol tersebut saling berkelindan dan membentuk visi yang benar tentang alam. (3)

Wacana ini ingin menggabungkan aspek perilaku ke dalam aspek visi, lalu menetapkan karakter simbolistik, dan itu berarti menggiring bahasa Al-Qur'an kepada arti majaz bukannya hakikat. Selama itulah, visi Arkoun memandang Islam sebagai kerangka berbasis dualisme mitos dan ritual. Ritual itu sendiri sebagai format praktis dari tipologi pemikiran mistis. Sesuai logika antropologia, apa yang ingin diungkapkan suatu kultur masyarakat dengan membentuk mitos, maka kultur lain mengungkapkannya dalam bentuk ritual yang senantiasa dipenuhi oleh mitologis yang terpendam. (4)
Dengan demikian, menjadi tugas analisis mitologis itu mengadakan lahirnya bacaan dan pembacaan ulang sampai muncul dengan jelas batasan-batasan ini yang mengantarkan kita kepada garis petunjuk. (5)

Nah, pendekatan yang anti kemapanan dalam menganalisis teks wahyu itu kini semakin menggoda banyak kalangan untuk diterapkan ke dalam studi Islam. Meskipun sebenarnya data-data pendekatan ini dalam sejarah modern berangkat dari kajian Levi Strauss terhadap ritus-ritus kaum paganis seperti masyarakat Indian-Amerika. (6)

Amat disayangkan, para pengikut setia Strauss di dunia Arab sangat ngotot dan intensif mempraktikkannya untuk kajian Islam dengan tujuan penghancuran sistem keyakinan dan nilai agama. Dalam konteks sejarah inilah, Arkoun dan intelek-intelek Arab pro-straussian menegaskan pentingnya memasukkan analisis antropologia ke dalam wilayah studi Islam. Levi Strauss sendiri tidak puas jika metode antropologisnya itu hanya berlaku dan diterapkan untuk mengkaji agama pagan saja.

Bersambung...

(1) Lihat Tarikhiyyat al-Fikr al-Islami, (Markaz al-Inma' al-Qawmi wa al-Markaz ats-Tsaqafi al-'Arabi: 1998) hlm. 102
(2) Hamilton Gibb, Dirasat fi Hadharat al-Islam, hlm. 239, 256.
(3) Lihat Zhahirat al-Qira'ah al-Jadidah fi Dlaw Dlawabith at-Tafsir, (Univ. Muhammad v, Fak. Adab dan Humaniora, Rabat, 1998) hlm. 239.
(4) Lihat dialog dengan Claud Levi Strauss, dalam Majalah Bayt al-Hikmah, edisi4, hlm. 16.
(5) Ibid, hlm.11.
(6) Riset itu ia lakukan pada tahun 1936-1948 M, lalu pada tahun 1955 ia menerbitkan buku yang pertama kali menyinggung kajian Islam antropologis berkat pengalaman kunjungan risetnya ke Pakistan dan gerah dengan fenomena hijab di sana.

Sumber : Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (Perspektif, kelompok gema insani, 2010), oleh Fahmi Salim M.A.

Izzahdini, 23 feb 2013

Proyek Arkoun Dalam Kebebasan Takwil Al-Qur'an Dengan Metode Antropologinya (3)


Mohammed Arkoun
Menyambung pembahasan yang kedua, Arkoun memposisikan kisah Al-Qur'an antara mitos dan realitas. Di sini Arkoun memperlakukan kisah Al-Qur'an dengan satu metode yang menyimpang. Ia tidak menerima kisah-kisah itu sebagai keyakinan faktual, namun juga tidak mau mengatakan terus terang sebagai jenis khurafat. Ia menulis, "Jika kita bahas dua kata yaitu mitos dan kisah, maka kita akan dapati terjemahnya mythe dalam bahasa Perancis, karena mitos digunakan oleh para ahli antropologi untuk menunjuk kepada kisah yang benar dan tampak di dalamnya imajinasi sosial." (1)

Bertolak dari sana, Arkoun ingin membebaskan kajiannya dengan cara memalsukan bahasa sehingga menafikan dari sinonim kata mitos di dalam bahasa Perancis sesuatu yang bukan darinya dan memberikan arti "realitas" meski semantiknya mengarah kepada arti "khurafat". Perlu dicatat pula bahwa semantik yang simpang siur semacam itu tidak pernah muncul dalam kamus bahasa Barat, kecuali pada dekade terkini seiring dengan munculnya tren filsafat nihilisme yang bagi mereka dualisme makna hakiki dan khayal itu sama saja sehingga tak ada lagi distingsi keduanya. (2)

Tudingan yang menyatakan bahwa kisah Al-Qur'an bukanlah sesuatu yang faktual terjadi dalam sejarah bukanlah isu yang baru muncul dengan adanya teori Arkoun itu, melainkan telah lama akarnya ditemukan sejak masa kenabian ketika an-Nadhr ibnul-Harits memperhatikan gerak-gerik Nabi. Setiap saat Nabi saw. menyiarkan Islam kepada penduduk Mekkah sambil membacakan ayat-ayat Al-Qur'an, an-Nadhr ibnul-Harits berdiri di belakang beliau sambil mengatakan Al-Qur'an adalah mitos umat terdahulu. Itulah asbab nuzul-nya firman Allah SWT,

"Dan apabila ayat-ayat Kami dibacakan kepada mereka, mereka berkata, 'sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat seperti ini), jika kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini. (Al-Qur'an) ini tidak lain hanyalah dongeng orang-orang terdahulu." (al-Anfaal:31)

Bersambung...

(1) Lihat dialog dengan Arkoun dalam Majalah Anwal Tsaqafi, edisi 7 hlm. 8.
(2) Makna awal leksikal dari istilah mythe menunjuk kepada cerita-cerita yang keluar dari lisan hewan (fabel), sementara lawannya adalah logos atau akal. Namun, oleh Nietzche dan filsuf nihilisme, arti mitos itu menjadi sejenis hakikat. Hasyim Saleh membela pandangan Arkoun (gurunya) dalam buku Tarikhiyyat al-Fikr al-'Arabi, footnote hlm. 210, namun makna asli leksikal berlawanan dengan pandangan itu. Lihat kamus Micro Robert, hlm. 697.

Sumber :
Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (Perspektif, kelompok gema insani, 2010), oleh Fahmi Salim M.A.

Izzahdini, 23 Feb 2013

Jumat, 22 Februari 2013

Foto Syeikh Shobuni, Pengarang Kitab Shofwah at-Tafassir bersama SBY

Ketika berselancar di Dumay (Dunia Maya), tidak sengaja saya menemukan foto yang sudah tidak asing lagi, karena kebetulan saya pernah mendapat tugas untuk menyelesaikan makalah tentang salah satu kitab beliau.
Ya, Syeikh Ali Shobuni dengan kitabnya Shofwah at-Tafassir. 
Sayangnya, waktu dapet tugas makalah mengenai beliau, tak juga kunjung datang.....hehehe (ngarep.com)
Dan inilah beberapa foto Syeikh Ali Shobuni, saat berkunjung ke Indonesia, dan bertemu dengan Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

إستقبال الرئيس الاندونيسي للشيخ الصابوني





من مؤلفاته : 
روائع البيان في تفسير آيات الأحكام
 صفوة التفاسير
شرح رياض الصالحين
 مختصر تفسير ابن كثير
 مختصر تفسير الطبري
  الشرح الميسّر لصحيح البخاري

 
Izzahdini, 22 Feb 2013

Proyek Arkoun Dalam Kebebasan Takwil Al-Qur'an Dengan Metode Antropologinya (1)

Terus terang saya agak bingung saat mendapatkan mata kuliah antropologi, dan ditanya tentang "relevansi ilmu tafsir dengan antropologi". Wah, apa ya ? Kalau keterkaitan antar ilmunya, jelas jauh sekali. Antropologi mempelajari tentang budaya atau penduduk sebagai masyarakat tunggal. Sedangkan untuk keilmuan tafsir Al-Qur'an sendiri, yang  harus dipegang oleh seorang mufassir,  yang pertama adalah, Al-Quran harus ditafsirkan dengan Al-Quran itu sendiri. Ayat-ayat tentang suatu tema tertentu harus dikumpulkan dan disingkronkan, baru akan didapatkan tafsir yang sesuai untuk masing-masing ayat. Kemudian, dengan hadits-hadits Nabi SAW. Ayat yang bersifat umum harus dikembalikan kepada penjelasan Nabi SAW dalam sunnahnya. Jika tidak ditemukan, baru ditafsirkan dengan perkataan sahabat, kemudian tabiin. Dan jika tafsir itu berupa "takwil" maka harus memenuhi rambu-rambunya, yaitu mengikuti kaidah-kaidah bahasa arab yang sesuai dengan aturannya dalam tafsir dan mematuhi pokok-pokok tafsir serta kaidah-kaidahnya. juga memperhatikan konteks pembicaraan sebelum dan sesudahnya, sehingga komponen yang satu dengan lainnya saling menyatu secara keseluruhan. Truz, dari sisi mana antropologi bisa menafsirkan Al-Qur'an?

Tapi, kembali ke pertanyaan di atas, mau tidak mau, ya harus dijawab. Sehingga pada akhirnya "relevansi ilmu tafsir dengan antropologi itu bagai minyak dengan air, tak akan mungkin menyatu, dan kalau dipaksa menyatu, it's imposible."...hehehe. Sebagai wacana saja, mari kita lihat bagaimana seorang pemikir liberal, Mohammed Arkoun dalam menafsirkan Al-Qur'an. ^_^

Masih ingat tentang larangan Rasulullah menafsirkan Al-qur'an dengan pendapatnya ???
Dan itu hal yang harus dihindari oleh seorang mufassir, ketika menafsirkan Al-Qur'an dalam bingkai takwil, tanpa disertai ilmu.

Mohammed Arkoun

Suatu ketika saya menemukan buku berjudul, "Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal". Karya Fahmi Salim, M.A. Disitu tertulis pula, tentang bagaimana  Mohammed Arkoun dalam mentakwilkan Al-Qur'an dengan menggunakan metode antropologi. Sekilas, mengenai pemikiran Mohammed Arkoun, yang merupakan penerus dari usaha Arthur Jeffery dalam mendekontruksi Al-Qur'an. Pemikiran liberal Arkoun, yang menyatakan bahwa bahwa al-Quran yang asli itu tersimpan di Lauh al-Mahfudz. Sedangkan yang kita pakai sekarang ini diistilahkan oleh Arkoun sebagai “al-Quran edisi dunia” (editions terrestres) namun menurutnya al-Quran pada peringkat ini telah mengalami modifikasi, revisi dan subsitusi. (1)
 
Bersambung...

(1) Ahmad bin Hambal, pemikiran mohammed Arkoun, http://ahmadbinhanbal.wordpress.com, diakses 23/2/2013

Izzahdini, 22 Feb 2013

Kamis, 21 Februari 2013

Kapan Ilmu Tafsir Lahir ? Versi Dr.Muhammad Husain adz-Dzahabi, Pengarang kitab at-Tafsir wa al-Mufassirun

Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi (1915-1977 M) membagi jenjang tafsir berdasarkan 3 periode :

1. Periode Pertama : Masa Rasulullah saw dan Sahabat
     Pada masa ini nampak fakta mendasar, yaitu bahwa Rasulullah saw. memahami Al-Qur'an secara global maupun terperinci, sebagaimana para sahabat juga memahaminya secara global, yakni zhahirnya dan hukum-hukumnya. Pasalnya, memahami Al-Qur'an secara detail (terperinci) membutuhkan sebuah penelitian dan peerenungan serta kembali bertanya kepada Rasulullah.
Adapun para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an pada masa ini berpegang pada 4 sumber:
Al-Qur'an Al-Karim, Hadis nabi Muhammad saw, Ijtihad dan Istinbath, dan cerita-cerita ahli kitab dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Adapun tokoh mufassir yang terkenal pada masa ini adalah:
Khulafaurrasyidin (Abu bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka'ab, Za'id bin Tsabit, Abu Musa al-Asyari, dan Abdullah bin Zabir (Menurut Imam Suyuti, dalam kitabnya al-Itqan)
Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi lalu menyebutkan keistimewaan tafsir pada zaman Rasulullah saw. dan para sahabat baik yang berhubungan dengan kuantitas maupun yang berhubungan dengan karakteristik metodologis dan caranya, seperti :
  • Al-Qur'an tidak ditafsirkan secara keseluruhan, tetapi hanya sebagian saja.
  • Minimnya perbedaan pendapat di antara sahabat dalam memahami makna-makna Al-Qur'an
  • Mereka merasa cukup puas dengan makna yang global
  • Mencukupkan dengan penjelasan seputar makna kebahasaan
  • Kelangkaan Istinbath penyimpulan ilmiah terhadap hukum-hukum fiqih dan sama sekali tidak ada tafsir sekte / aliran
  • Belum ada proses pembukuan hadits
2. Periode Kedua : Periode Tabi'in
      Mereka adalah murid-murid sahabat yang ikhlas, dan menukil sebagian besar riwayat tafsir dari para sahabat. Dalam penafsirannya ini para tabi’in berpegang kepada sumber-sumber yang telah ada pada masa pendahulunya, yaitu pertama, ayat al-Qur’an; kedua, hadist Nabi Muhammad SAW; ketiga, pendapat para sahabat; keempat, keterangan dari ahl al-kitab baik Yahudi maupun Nasrani; dan kelima, Ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri. Dan, keistimewaan yang paling penting tafsir era ini adalah tafsir di era itu mulai mengalami hal-hal berikut :
  • Mulai disusupi kisah-kisah Isra'iliyyat
  • Menjadi bentuk ilmu yang diajarkan langsung dan diriwayatkan
  • Tampak mulai muncul bibit-bibit perbedaan mahzab
  • Mulai dikenal perbedaan-perbedaan tafsir yang sebelumnya tidak dikenal di era sahabat
Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir, diantaranya :
a. Madrasah Tafsir di Makkah
Madrasah tafsir di Makkah ini didirikan oleh sahabat Abdullah Ibn Abbas, yang menjadi guru dan sekaligus menafsirkan dan menjelaskan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dirasa masih sulit pengertiannya kepada para tabi’in.
Di antara para murid-muridnya yang terkenal (masyhur) adalah Said bin Jubair, Mujahid bin Jubair, Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah,Thawus bin Kaisan al-Yamani.
Adapun keistimewaan dari madrasah ini ditandai dengan keistimewaan para tokohnya, yaitu pertama, dalam hal qira’at, madrasah ini memakai qira’at yang berbeda-beda, seperti Said bin Jubair, kadang-kadang memakai qira’at Ibnu Abbas, Ibn Mas’ud, dan kadang-kadang memakai qira’at Zait bin Tsabit; kedua, dalam hal metode penafsiran, madrasah ini sudah memakai dasar aqliy.

b. Madrasah Tafsir di Madinah
Madrasah ini didirikan oleh Ubay bin Ka’ab. Pendapat-pendapatnya tentang tafsir banyak dinukilkan generasi sesudahnya. Di antara murid-muridnya dari kalangan tabi’in yang belajar kepadanya baik secara langsung maupun tidak, yang terkenal di antara merea ada tiga, yaitu Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab al-Quradhi.
Keistimewaan madrasah di Madinah adalah pertama, telah ada sistem penulisan pada naskah-naskah dari Ubay bin Ka’ab lewat Abu Aliyah lewat Rabi’ oleh Abu Ja’far ar-Raziy dan juga Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim dan al-Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu Aliyah; kedua, telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur’an, sebagimana diucapkan oleh Ibn ‘Aun tentang penta’wilan Muhammad bin Ka’ab al-Quraziy; ketiga, telah timbul penafsiran bir ra’y, terbukti tokoh Zaid bin Aslam membolehkan penafsiran bir ro’yi.

c. Madrasah Tafsir di Irak
Madrsah ini dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud dan dilindungi oleh Gubernur Irak Ammar bin Jaser, serta didukung oleh tabi’in di Irak, seperti Alqamah bin Qais, Masruq, Aswad bin Jaser, Murrah al-Hamdaniy, Amir asy-Sya’biy, Hasan al-Bashri, Qatadah bin Di’amah.
Keistimewaan dari madrasah tafsir di Iraq adalah pertama, secara global, madrasah ini lebih banyak diwarnai oleh ahli ra’yi; kedua, sebagai konsekuensinya, maka timbul masalah khilafiyah dalam penafsiran al-Qur’an; ketiga, sebagai kelanjutan adanya khilafiyah penafsiran al-Qur’an tersebut, maka timbullah metode istidlal.

3. Periode Ketiga : Periode Kodifikasi (Pembukuan) Tafsir
    Itu terjadi di akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal masa pemerintahan Abbasiyyah. Yang menarik dalam jenjang ini adalah periode itu meringkas dua jenjang sebelumnya dan memiliki unsur-unsur baru yang menjadikan tafsir mengalami langkah-langkah seni yang terbatas, yaitu sebagai berikut :
  • Langkah-langkah tafsir naqli secara keseluruhan dan pada saat itulah tafsir terpisah dari hadits
  • Langkah meringkas sanad-sanad hadits dengan tidak menisbatkan perkataan kepada pengujarnya
  • Langkah menafsirkan Al-Qur'an secara rasional
Adz-Dzahabi mengakhiri analisisnya dengan berkata, "Demikianlah tafsir berkembang dan kitab-kitab yang dikarang mulai menampakkan aliran-aliran yang berbeda-beda. Istilah-istilah ilmiah dan aqidah serta paham aliran (mazhabiyah) mulai terbukukan di dalam ungkapan-ungkapan Al-Qur'an, hingga akhirnya tampaklah kultur filsafat dan sains bagi umat Islam dalam tafsir Al-Qur'an."
Kemudian adz-Dzahabi mengulangi apa yang telah diungkapkan as-Suyuthi yang telah lalu seputar hal-hal yang membedakan sebagian kitab tafsir berupa kecenderungan nahwa, fiqih, aqli, atau sufi.
Wallahu a'lam

Sumber :
- At-Tafsir wa Al-Mufassirun (Dar Al-Hadits, 2005), oleh Muhammad Husain adz-Dzahabi
- Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (Perspektif, kelompok Gema Insani, 2010), oleh Fahmi Salim, M.A.

Izzahdini, 21 feb 2013

Rasulullah melarang Tafsir bir-Ra'yi ?

Ada sebuah hadits yang merupakan peringatan Rasulullah saw yang melarang mengatasnamakan sesuatu dengan Al-Qur'an hanya berdasarkan pendapat pribadi (tafsir bir-Ra'yi). Beliau bersabda :


من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
"Barangsiapa berbicara tentang Al-Qur'an berdasarkan opininya, kemudian ternyata benar, maka sesungguhnya dia telah bersalah."
(Hadits diriwayatkan at-Tirmidzi dalam at-Tafsir Bab Hadits yang membicarakan orang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan pendapatnya (No.2953); Abu Dawud dalam al-ilm Bab berbicara tentang kitab Allah tanpa disertai ilmu (no.3652).

Lalu benarkah tafsir bir-Ra'yi dilarang Rasulullah saw ?, sedangkan banyak diantara kitab-kitab tafsir yang menggunakan bentuk penafsiran bir-Ra'yi ini. Seperti tafsir Al-Bahr al-Muḥiṭ karya Abū Hayyān, tafsir jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl karya Al-Baiḍawi  dan masih banyak lagi lainnya.


Sebelum sampai pada pokok permasalahan, perlu kita telaah terlebih dahulu mengenai apa itu tafsir bir-Ra'yi. Tafsir bir-Ra'yi secara bahasa, kata ra’yu dapat diartikan sebagai al-i’tiqad (keyakinan), al-qiyas, dan al-ijtihad. Sedangkan yang dimaksud dengan ra’yu dalam pembahasan ini adalah al-ijtihad. Dan secara istilah, Dalam bukunya “at-Tafsir wal Mufassirun” adz-Dzahabi mengatakan bahwa tafsir bir-ra’yi adalah penjelasan mengenai al-Qur’an dengan jalan ijtihad, setelah mufassir terlebih dahulu memahami bahasa arab dengan gaya-gaya ungkapannya, memahami lafaz-lafaz arab dan segi-segi dilalah (pembuktian,  pendalilan) nya, dan mufassir juga menggunakan syair-syair arab jahiliyyah sebagai pendukung, disamping memperhatikan juga asbabun nuzul, nasikh mansukh dan ilmu-ilmu lainnya yang dibutuhkan mufassir.
Adapun pembagian tafsir bir-Ra'yi ini ada 2 :
1. Tafsir al-maḥmudah adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah. Hukum tafsir bir-Ra’yi al-maḥmudah menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad dengan tetap memenuhi syarat-syaratnya (menguasai ilmu-ilmu yang mendukung penafsiran al-Qur’an), serta berpegang kepadanya dalam memberikan makna-makna terhadap ayat-ayat al-Qur’an, maka penafsiran itu telah patut disebut tafsir al-maḥmud atau tafsir al-mashru’. (1)
2.Tafsir al-madhmumah adalah penafsiran al-Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat. (2)
Hukum tafsir bir-Ra’yi al-madhmumah adalah haram karena menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’yi dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang ṣaḥīḥ. Allah berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ - الإ ســــراء: ٣٦
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS. Al-Isra’: 36)
Sejalan dengan pernyataan tersebut, kembali kepada hadits Rasulullah saw :

من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
"Barangsiapa berbicara tentang Al-Qur'an berdasarkan opininya, kemudian ternyata benar, maka sesungguhnya dia telah bersalah".

para pakar hadits menjelaskan maksudnya, (karena telah menafsirkan Al-Qur'an)...dengan pendapat yang tercela." Pernyataan yang digaris bawahi ini, lebih lanjut dijelaskan oleh ibnu'Athiyah (481-542 H) mengatakan bahwa maksud perkataan itu adalah ketika seorang bertanya sesuatu tentang kitab Allah SWT kemudian langsung menanggapinya dengan pendapatnya tanpa melihat apa yang dikatakan ulama atau yang menjadi ketentuan disiplin ilmu-ilmu seperti nahwu dan ushul. Tidak termasuk dalam lingkup ancaman hadits ini, pakar bahasa yang menafsirkan makna-maknanya. Karena mereka berbicara berdasarkan ijtihad yang didasarkan rambu-rambu keilmuan dan pemikiran, karena orang yang berbicara dengan ilmu, dia bukanlah orang yang berbicara berdasarkan opini belaka. Imam Qurtubi berkata, setelah menukil di atas, "Hal itu adalah benar dan itulah yang dipilih oleh lebih dari satu orang ulama. Apabila dia berpendapat sesuai dengan dugaaannya dan yang terbetik dalam hatinya tanpa melandaskannya pada dalil ushul apapun, maka dia salah. Adapun orang yang menyimpulkan maknanya dengan berdasarkan dasar-dasar yang kuat yang disepakati maknanya, maka itulah pendapat yang terpuji."

Sehingga jika dikaji ulang, sebetulnya larangan tersebut hanya berlaku kalau di dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ra’yu itu tidak terdapat dasar sama sekali atau dilaksanakan tanpa pengetahuan kaidah bahasa Arab, pokok-pokok hukum syari’at, syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama dan sebagainya, atau penafsirannya tersebut dipakai untuk menguatkan kemauan nafsu belaka. Mengacu pada pernyataan tersebut para ulama tafsir sepakat membagi tafsir bir-Ra’yi dalam dua bagian, yaitu tafsir al-maḥmudah dan al-madhmumah.
Wallahu a'lam

(1) Muḥammad ‘Aliy al-Ṣābūniy, al-Tibyān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Jakarta: Dinamika Barokah Utama, 1985), h. 157
(2) Ṣubḥiy al-Ṣāliḥ, Mabāhith  fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Beirut: Dār al-‘Ilm, 1977), h. 294

Sumber :
- At-Tafsir wa Al-Mufassirun (Dar al-Hadits, 2005), oleh Muhammad Husain adz-Dzahabi
- Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (Perspektif, kelompok gema insani, 2010), oleh Fahmi Salim M.A.
- al-Jami'' Li Ahkam Al-Qur'an, komentar dan takhrij (Kairo: Dar al-Hadits, 2002) vol.1/43 oleh Muhammad Ibrahim al-Hafnawi dan Mahmud Hamid Utsman
- At-Tafsir wa Manahijuh (Kairo: Mathba’ah al-Amanah, 1397 H-1977 M) oleh Dr. Mahmud Basuni Faudah

Izzahdini, 21 feb 2013
 


Rabu, 20 Februari 2013

Apa Kata Ulama Tentang Pentingnya Ilmu Tafsir ?

Pernahkah kita merasa, setelah membaca Al-Qur'an hingga khatam, namun rasanya biasa-biasa saja, tidak ada perubahan yang signifikan dari diri kita, hanya sekedar menyelesaikannya begitu saja dan tidak meninggalkan bekas apa-apa,,,?
Ya, salah satunya adalah karena belum bisanya mengambil ibroh dan pemasukan-pemasukan ilmu lainnya yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur'an. Karena dengan memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya, maka secara langsung akan membawa dampak positif pada iman dan qalb. Sehingga selanjutnya berpengaruh pada kepribadian kita. Dan salah satu mediatornya adalah dengan mempelajari ilmu tafsir. Terjemahan ayat Al-qur'an sendiri belum bisa dikatakan dapat mengungkapkan atau menjelaskan lafadz Al-Qur'an. Karena memang definisinya berbeda dengan tafsir (Untuk perbedaan antara terjemah dan tafsir, akan dibahas pada bab selanjutnya).
Mengutip pernyataan salah satu dosen saya, yaitu "Puncak tertinggi keilmuaan dari seorang ulama adalah dengan menuliskan kitab tafsir Al-Qur'an", memberikan ketegasan bahwa begitu urgennya ilmu tafsir dikalangan alim ulama.

Lalu bagaimana Ulama-ulama berbicara mengenai pentingnya mempelajari ilmu tafsir ?
1. Ibnu Jarir Ath-Thobari berkata,
“Di dalam hasungan Allah kepada hamba-hamba-Nya agar mereka mengambil ibroh dari ayat-ayat Al-Qur’an terpadat perintah yang mewajibkan mereka mengetahui tafsir ayat-ayat yang mampu diketahui oleh manusia.” (Tafsir Thobari: 1/161)

2. Ibnu Mas’ud berkata,
“Sungguh seseorang di antara kami (sahabat) jika mempelajari sepuluh ayat dari Al-Qur’an tidak akan melampauinya sampai dia mengetahui maknanya dan mengamalkannya.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya 1/60 dengan sanad yang shahih)

Dan merupakan hal yang dimaklumi bahwa yang dimaksud dengan setiap perkataan adalah pemahaman makna-maknanya, bukan sekedar lafadznya. Maka Al-Qur’an lebih berhak untuk dipahami daripada semua perkataan 

3. Sa’id bin Jubair berkata,
“Barangsiapa membaca Al-Qur’an kemudian tidak tahu tafsirnya, maka seakan-akan dia seperti orang buta atau orang badui (Arab gunung).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya 1/60 dengan sanad hasan)

4. Imam Suyuthi berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa ilmu tafsir termasuk dari fardhu-fardhu kifayah." (Al-Itqon fi Ulumil Qur’an: 2/385)

5. Al-Anshori berkata, “Pekerjaan yang paling mulia untuk digeluti manusia adalah tafsir Al-Qur’an." (Dinukil oleh Suyuthi dalam Al-Itqon: 2/386)
Wallahu a'lam


Izzahdini, 20 Feb 2013